Senjakala Koran dan Majalah Cetak Indonesia
Koran dan majalah adalah dua media yang mampu mengubah dunia dalam seabad terakhir. Koran dengan karakternya yang cepat dan aktual membuat koran menjadi satu-satunya media terpercaya dalam menyampaikan berita kepada pembaca, kejadian sore hari atau malam hari, sudah dapat dibaca pada pagi hari di koran atau harian pagi, terbayang bagaimana sibuknya para penulis berita, berjibakunya para operator mesin cetak hingga gesitnya para loper koran yang sudah mengantarkan koran hingga ke rumah-rumah pembaca di pagi buta. Lain halnya dengan koran, majalah memiliki peran yang berbeda dalam menyampaikan informasi dan berita. Majalah menghadirkan berita dan informasi yang lebih mendalam (indeep reporting) dan bersifat feature, dengan karakteristik informasi yang seperti itulah membuat majalah biasanya terbit lebih lambat , namun teratur terlebih kita sering mendengar istilah majalah mingguan dan majalah bulanan. Koran dan majalah seperti bagian yang tak terpisahkan dari aksesoris sebuah ruang tamu di rumah-rumah, begitu pula di kantor-kantor dan tempat-tempat umum, bahkan kita sering menjumpai ada tempat khusus untuk menyimpan koran supaya tidak tercecer.
Sayangnya, pamor kedua media cetak itu saat ini semakin pudar seiring berjalannya waktu, seiring perkembangan teknologi dan bergantinya satu generasi baru yang tidak lagi suka dengan media-media berbentuk cetak. Koran yang dulu dikejar oleh masyarakat setiap harinya kini mulai ditinggalkan, jumlah eksemplar yang tercetak pun menurun drastis seiring dengan permintaan yang terus menurun, padahal pada zaman dulu, koran sering dijadikan media propaganda yang jitu oleh banyak kalangan seperti pemerintah, partai politik atau perusahaan swasta. Begitu pula dengan majalah, pada beberapa tahun yang lalu, adalah hal yang sangat membanggakan bagi seseorang bila wajahnya terpampang menjadi sampul sebuah majalah, tidak sedikit artis-artis yang hadir dan meramaikan dunia hiburan di Indonesia mulai dikenal karena wajahnya terpampang di majalah hiburan. Akan tetapi, belakangan ini justru beberapa majalah besar yang ada di tanah air mulai gulung tikar dan tidak diproduksi lagi. Tahun-tahun terakhir adalah senjakala bagi dua media ini, koran dan juga majalah.
Mereka yang Berhenti Mencetak
Detik.com, sebuah media daring di Indonesia mencatat dalam sebuah laporannya selama rentang tahun 2015 hingga tahun 2017 setidaknya ada 12 majalah dan koran yang memutuskan untuk berhenti berproduksi alias tutup, beberapa diantaranya seperti Majalah Hai, Koran Sinar Harapan, majalah Soccer, Harian Bola, Jakarta Globe Berbahasa Indonesia, Indonesia Finance Today, Majalah Chip, Techlife, Majalah T3, Majalah Maxim, What Hi Fi, Reader Digest, Bloomberg Business Week, Majalah Kawanku, Majalah Trax (Music), Majalah Fortune, Tabloid Gaul dan Car Tuning Guide. Mereka menutup, menghentikan produksi dan distribusi dengan berbagai alasan dari mulai minimnya pendapatan hingga semakin berkurangnya pembaca.
Awal tahun 2018 nyatanya bukan masa yang menggembirakan untuk salah satu majalah cetak di Indonesia, majalah Rollingstone. Sebuah majalah musik yang sudah ada di Indonesia selama 12 tahun itu pun memutuskan untuk menerbitkan edisi terakhir dari majalah yang disukai para penggemar musik, alasannya karena pembaca yang semakin sedikit dan tingginya biaya operasional yang harus ditanggung.
Nielsen, sebuah perusahaan yang memfokuskan diri pada riset, survei dan rating mencatat ada 268 media cetak pada 2013, namun merosot tajam menjadi hanya 192 media hingga November 2017, angka yang sangat banyak untuk tutupnya sebuah perusahaan media. Menurut data yang disampaikan oleh Serikat Perusahaan Pers, salah satu sebab tutupnya beberapa media khususnya cetak memang disebabkan oleh pendapatan yang menurun, secara bisnis pertumbuhan pendapatan media cetak mengalami perlambatan. Pada tahun 2010, pendapatan iklan tumbuh 25 persen, 2011 tumbuh 12 persen, dan 2015 tumbuh 12 persen dan menurun terus di tahun-tahun selanjutnya. Pada 2015, pendapatan kotor perusahaan media cetak mencapai Rp 24 triliun. Sedangkan pendapatan bersih sekitar Rp 18 miliar. Pemilihan kepala daerah secara serentak juga menyumbang pendapatan media cetak pada tahun 2014, bisnis tumbuh positif disumbang iklan politik serta dari Komisi Pemilihan Umum saat pemilu dan pemilihan presiden. Namun, setelah pemilu selesai pendapatan kembali menurun dan ini merupakan salah satu sebab dari tutupnya beberapa media cetak.
Tergerus Media Digital
Diakui atau tidak, salah satu penyebab runtuhnya bisnis dan banyaknya majalah dan koran yang gulung tikar disebabkan karena digerus oleh media digital. Sebagai perusahaan media, koran dan majalah menggantungkan pendapatannya dari banyaknya eksemplar yang terjual dan dari pendapatan iklan, keduanya saling mempengaruhi. Bila pembaca banyak atau dalam artian banyak eksemplar yang terjual maka pengiklan yang memasang iklanpun merasakan benefit yang lebih, sebaliknya bila pembaca semakin sedikit maka pendapatan dari penjualan eksemplar pun terus menurun dan secara langsung membuat para pengiklan memutuskan untuk tidak lagi mengiklan di koran ataupun majalah. KataData mencatat tak hanya jumlah pembaca yang berkurang, pengeluaran iklan untuk media cetak pun berkurang. Pada Januari-September 2017, jumlah belanja iklan media cetak Rp 21,8 triliun, berkurang 13% dibanding periode yang sama pada 2013 yakni Rp 25 triliun.
Peran media digital dalam menggerus pembaca koran dan majalah memang sangat signifikan dalam 3 tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena usia produktif saat ini lebih memilih menggunakan internet atau online untuk mendapatkan informasi, selain cepat, mengakses informasi berita melalui internet bisa terhitung lebih murah dan bisa dilakukan dimanapun. Sebanyak rata-rata 60% pengguna internet di Indonesia mengakses berbagai situs dari smartphone yang mereka miliki, sisanya menggunakan komputer pribadi yang ada dikantor atau dirumah mereka, hal ini menunjukan bahwa generasi saat ini lebih suka membaca informasi dari media digital. Survei Nielsen Indonesia juga menyebutkan bahwa masyarakat yang membaca media cetak pun didominasi oleh orang-orang berusia 20-49 tahun dengan porsi sebanyak 73%. Hanya 10% anak muda berusia 10-19 tahun yang mengakses media cetak sebagai sumber informasinya dan 90% mengakses informasi melalui media digital. Dengan kata lain dalam beberapa waktu kedepan generasi muda sebaian besar akan mengakses informasi melalui media digital.
Data dari Asosisasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau APJII, pada tahun 2016 tercatat ada 130 juta pengguna Internet di Indonesia dengan angka pertumbuhan lebih dari 50%, artinya dalam beberapa tahun kedepan hampir seluruh masyarakat Indonesia terkoneksi dengan internet. Hal ini tentu menjadi tantangan yang serius untuk industri media cetak seperti koran dan majalah.
Bertransformasi Menjadi Digital
Banyaknya media cetak yang memutuskan diri untuk berhenti adalah perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan transformasi dan adaptive terhadap perkembangan zaman. Beberapa media cetak yang menghentikan produksi cetaknya berhasil bertahan dengan melakukan transformasi menjadi media digital. Beberapa media yang digunakan antara lain dengan membangun website atau juga merubah format majalah menjadi majalah digital. Seperti yang dilakukan oleh harian umum Pikiran Rakyat di Jawa Barat, mereka mengeluarkan website jauh-jauh hari sebagai media pendukung koran cetak mereka, pada saat yang sama mereka juga menghadirkan format koran dalam bentuk digital atau yang biasa disebut sebagai e-newspaper.
Selain menggunakan media website, saat ini banyak flatform yang digunakan untuk mendistribusikan konten majalah digital atau koran digital, bila dulu koran atau majalah dijual per-eksemplar, saat ini model penjualan biasanya berubah. Untuk koran, biasanya menggunakan model subcribe atau berlangganan setiap bulannya untuk menjadi member premium. Bila sudah menjadi premium, pembaca bisa mengakses seluruh halaman koran digital setiap harinya termasuk arsip koran yang telah lalu. Berbeda dengan koran digital, majalah digital biasanya dijual secara eceran seperti layaknya versi cetak, mereka mendistribusikan melalui flatform Google Books, Kindle atau yang lainnya sehingga pembaca bisa dengan mudah membaca majalah dari perangkat bergerak mereka seperti layaknya membaca sebuah majalah cetak.
Tidak semua majalah dan koran cetak yang bertransformasi menjadi media digital juga sukses seluruhnya, persaingan yang sangat ketat di media online yang sudah ada sebelumnya juga menjadi faktor penentu keberhasilan proses transformasi. Menurut hemat penulis, transformasi bukan hanya dari bentuk medianya saja, tetapi sistem pengeloaan isi juga harus berubah, sumber daya yang ada didalamnya juga harus terus belajar dan berubah mengikuti perkembangan zaman, cara mendapatkan revenue juga harus terus digali hingga tidak hanya menutup biaya operasional tetapi juga surplus dari segi finansial. Transformasi yang berhasil akan membuat sebuah media koran ataupun majalah cetak menjauhi masa senjakala.