Indramayu masih membutuhkan banyak guru Sekolah Dasar (SD) berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Guru yang ada saat ini masih terbilang minim. Untuk menutupinya, pemerintah daerah menggunakan jasa guru honorer.
Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Jika guru kurang, lantas kepada siapa para siswa belajar. Sebab, kondisi anak-anak (siswa) sudah sangat rawan dikelilingi musuh-musuh yang siap menghancurkan.
Sungguh, negeri ini sudah masuk pada darurat pendidikan. Di tengah tingginya jumlah guru honorer yang terus berharap mendapatkan pengakuan sebagai ASN, pemerintah masih belum berhasil menjadikan para guru bebas dari beban-beban persoalannya.
Mereka tidak saja harus berjibaku menghadapi sulitnya kehidupan ekonomi karena minimnya honor. Namun, juga beratnya menghadapi tantangan kehidupan peserta didik jaman now yang tidak mudah.
Maka, tak heran jika masih banyak anak sekolah yang tawuran, pacaran hingga hamil, berbuat kriminal, menjadi korban kemajuan teknologi dan sebagainya. Itu semua tentu tak lepas dari faktor guru. Padahal, tentu tak ada yang menghendaki generasi ini rusak. Oleh karena itu, persoalan ini harus segera dituntaskan.
Problem kekurangan guru bertambah berat ketika program pemerataan guru (mutasi) juga tidak mudah dilaksanakan. Hal ini juga tak lepas dari masalah kesejahteraan guru yang kerap menimbulkan kecemburuan sosial. Guru di DKI Jakarta bisa mencapai penghasilan Rp 31 juta per bulan.
Sedangkan di daerah lain ada guru honorer yang hanya bergaji Rp 300 ribu per tiga bulan. Sangat timpang! Meski hal itu menjadi kewenangan pemerintah daerah, namun tidak ada pengaturan yang jelas sehingga kontra produktif dengan proyek pemerataan guru.
Masalah ini juga erat kaitannya dengan pandangan dan gaya hidup sang guru. Sistem kapitalis telah mencetak guru berpandangan kapitalistik. Sebagian besar mereka mengajar lebih didorong oleh kepentingan ekonomi ketimbang moral mendidik. Tidak banyak yang mau digaji dengan murah, apalagi tinggal dan hidup di masyarakat yang jauh dari hingar bingar kemajuan.
Maka problem kekurangan guru juga erat kaitannya dengan pandangan hidup para guru dan masyarakat umumnya. Sistem sekuler kapitalis telah menggeser fungsi mulia guru menjadi alat pengeruk sejumlah uang.
Di sisi lain, para guru ini juga menjadi korban keganasan sistem kapitalis yang telah memiskinkan negara. Akibatnya, himpitan ekonomi dialami semua warga negara, termasuk para guru. Guru pun menggadaikan idealisme mendidik dengan sejumlah materi untuk menutupi kesulitannya itu. Demikianlah, problem kekurangan guru ini hakikatnya adalah problem sistemik.
Artinya, problem pendidikan ini tak akan lepas selama kemiskinan negara ada. Oleh karena itu, Negara harus keluar dari kemiskinan ini. Jika sistem ekonomi kapitalis yang menjadi penyebab kemiskinan itu, maka Negara harus menanggalkan sistem tersebut dan menggantinya dengan yang lebih baik.
Di samping itu, terpenuhinya jumlah guru tidak menjamin tuntasnya persoalan guru. Problem pemerataan, misalnya, bukanlah problem jumlah. Namun, ia merupakan masalah padangan hidup. Kegagalan mutasi guru ASN berpangkal dari pandangan sekuler kapitalis yang ada pada guru. Oleh karena itu, guru haruslah dibina dengan sistem Islam.
Ketika Islam menjadi pandangan hidupnya, maka ia akan mengabdikan dirinya untuk mendidik siswa di mana pun berada. Sebab, Islam sangat menghargai aktivitas ini. Pandangan seperti ini telah tergerus oleh sistem sekuler kapitalis yang dipegang kuat oleh masyarakat bahkan hingga sekolah-sekolah pencetak para guru. Maka kesahihan kurikulum pendidikan (pencetak) guru pun layak ditilik.
Betapa beratnya menata pendidikan dalam sistem sekuler kapitalis. Ini baru masalah guru, belum lagi kurikulum dan pengelolaan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, tak ada jalan lain melainkan harus mengganti sistem yang merusak ini dengan sistem yang terjamin ketangguhannya dalam mengelola pendidikan.
Sistem pendidikan Islam yang dijalankan dalam Institusi Pemerintahan Islam pada masa lalu mampu menghasilkan pendidikan berkualitas. Baik kurikulum, pengadaan guru hingga pengelolaan sekolah, diatur sesuai aturan Islam. Perhatian Negara pada guru pun begitu besar. Sistem ekonomi yang tangguh mengantarkan negara memiliki anggaran cukup besar bagi pendidikan.
Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25gram emas atau sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang).
Sistem Pemerintahan Islam juga menjaga astmosfir keimanan masyarakat. Siapa pun akan menghargai profesi guru. Para guru menyadari betul tugasnya sehingga tidak mempersoalkan di mana pun mereka harus mendidik, karena yang dikehendaki adalah kebaikan dari Allah SWT.
Dengan demikian, penyelesaian problem kekurangan guru ini, selayaknya seiring dengan perjuangan menegakkan sistem pendidikan Islam dalam sebuah institusi pemerintahan Islam. Keterpurukan di ranah pendidikan harus segera diakhiri dengan kembali kepada aturan Allah SWT. Wallahua’lam[].
Ditulis oleh Tawati, kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 20 September 1988. Aktivis Dakwah Muslimah Majalengka dan Aktivis Muslimah Peduli Generi. Bisa dihubunhi via email: tawati7899@gmail.com dan diterbitkan oleh nusantaranews.co