Maraknya kasus perundungan di sekolah-sekolah Indonesia telah menyoroti kerentanan konsep pendidikan karakter di negara ini.
Dilansir dari laman mnctrijaya, Fahmy Alaydroes, seorang anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, telah memberikan tanggapannya terhadap kasus perundungan yang baru-baru ini terjadi di SMP Cimanggu Cilacap. Kasus ini menjadi cermin buruk untuk kondisi pendidikan karakter di sekolah-sekolah Indonesia.
Fahmy mengingatkan bahwa sebelumnya telah terjadi berbagai kasus kekerasan di kalangan pelajar yang dilaporkan, termasuk insiden tragis di mana seorang siswa kelas V berusia 11 tahun tewas akibat perundungan di sebuah sekolah dasar di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam kasus tersebut, bocah laki-laki tersebut dipaksa oleh teman-temannya untuk melakukan tindakan yang tidak senonoh terhadap seekor kucing.
Menurut Fahmy, kasus-kasus semacam itu merupakan puncak gunung es, yang mengindikasikan bahwa masih banyak kasus serupa yang belum terungkap. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat bahwa setidaknya ada 194 kasus kekerasan di sekolah yang terjadi selama tahun 2022, dengan kekerasan seksual menjadi yang paling dominan, mencapai 105 kasus. Data dari PISA tahun 2018 juga menunjukkan bahwa 41 persen pelajar berusia 15 tahun di Indonesia mengalami perundungan beberapa kali dalam satu bulan.
Fahmy mengkritik bahwa Revolusi Mental yang digaungkan selama hampir satu dekade ini tampaknya telah mengalami kemerosotan. Menurutnya, pemerintah lebih fokus pada pencitraan dan narasi-narasi yang menarik, tetapi pelaksanaannya masih kurang kuat. Kebijakan Pendidikan Nasional cenderung lebih fokus pada perubahan kurikulum dan masalah-masalah teknis, daripada mengatasi masalah mendasar yang mendesak.
Fahmy juga mencatat bahwa permasalahan terkait guru, seperti rekrutmen, status, kompetensi, dan persebaran, belum terselesaikan dengan baik. Padahal, guru merupakan unsur penting dalam pendidikan, terutama dalam pembentukan karakter, yang merupakan tujuan utama Pendidikan Nasional.
Pemerintah juga dianggap gagal dalam memberikan contoh perilaku dan akhlak mulia kepada generasi muda. Anak-anak muda dan pelajar dihadapkan pada perilaku negatif dan konten merusak yang tersebar di dunia maya, seperti korupsi, fitnah, kebencian, perjudian, dan berita palsu. Fahmy menekankan bahwa keteladanan adalah fondasi utama pendidikan, sebagaimana yang dipegang oleh pendiri Pendidikan Nasional Indonesia, KH Dewantara.
Fahmy menyimpulkan bahwa pemerintah perlu serius dalam merancang sistem pendidikan nasional, terutama dalam pembentukan karakter. Keteladanan sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma Pancasila harus ditunjukkan oleh para pejabat pemerintah, termasuk Presiden, para Menteri, dan kepala daerah. Selain itu, kontrol konten media sosial, film, sinetron, dan perilaku selebriti juga diperlukan untuk memastikan bahwa mereka sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan moral dan agama perlu diaktifkan dan ditingkatkan, dan tindakan keras harus diberlakukan terhadap pelaku kekerasan sesuai dengan hukum yang berlaku. Semua ini bertujuan untuk melindungi masa depan anak-anak dan generasi muda, serta masa depan negara.
(Foto/Gambar: Ilustrasi perundungan atau bullying/mnctrijaya)