Aku, seorang lelaki yang masih membawanya saat ini. Membawa semua kenangan yang mampu menggoreskan tawa maupun luka. Entah kemilau apa yang “ia” punya, yang kini aku merasa sendiri menyepi tenggelam dalam renungan. Ada apa dengan aku seakan aku jauh dari ketenangan. Perlahan ku cari mengapa diriku hampa, mungkin ada salah mungkin ku tersesat dan mungkin mungkin lagi.
Aku hadiri “ia” saat hari kesedihannya juga kebahagiaannya, hari dimana aku berbeda, bukan diriku lagi. Iya, karena “ia” hidup bersama orang lain, bukan bersamaku. Sikapku yang teramat lapang membuatku tak merasa apa yang ku rasa di dalam ikrar sucinya itu. Mungkin saja aku menangis, tapi itu bukan aku seorang lelaki yang selalu “ia” lihat bahagia dan berbagi kebahagiaan bersamanya, dengan segala yang ku punya tak di miliki orang lain (dibaca : unik). Aku pun harus bergegas melanjutkan hidupku, sesakit apapun, sesulit apapun itu hidupku akan terus berjalan walaupun aku merasa kehilangan.
Kehilangan sesuatu yang belum menjadi miliku. Sempat aku merasa nyaman dengan kebahagiaanku kini, namun aku tak mampu melewati waktu yang Allah beri saat “ia” kembali menari dalam ingatanku. Hingga saat ini aku belum mampu melupakannya, Aku ketahui ini adalah dosa, sebuah dosa berlangsung memakan sisa sisa hariku yang entah kapan ia berakhir. Walaupun aku bersyukur aku tak bersama “ia” lagi.
Memimpikannya adalah hal yang membuat aku bersemangat untuk terbangun. Menatap wajah dalam fotonya menjadi kebiasaanku saat aku menjelang tertidur. Bisa saja kau anggap gila perbuatanku ini.
Tapi, sungguh dengan cara inilah aku mampu membahagiakan hatiku. “Selamat Menempuh Hidup Baru (untuk “ia”). Jangan khawatirkan diriku, hidupku seperti ini tidak lebih buruk daripada saat saat kita bersama, tak ada beda, karena mungkin Anugerah Tuhan. Maafkan Aku masih memikirkannya. Hanya saja ada yang ku ketahui, bahwa “Cinta adalah anugerah Allah, datang dan perginya cinta hanya Allah yang mampu melakukannya, kan ku jaga anugerah-Nya ini dengan sebaik-baiknya, mengingatmu adalah salah satu cara aku mensyukurinya. Disini, bersama bayangmu. Belum mampu melupakanmu. Deretan kata-kata berlari dalam hujan menuju rindu yang paling deras; kamu. kamu yang ku sebut “ia” coretanku tadi.
Aku, adalah seorang “ia” yang kau sebut. Tak mampu ku bendung ungkapan rasa bak beranda sunyi hujan pasi, tapi percakapan yang mawar membuat kita selalu kembali pada pelangi dan rumi. Aku tak bisa hentikan senyumu, senyum yang selalu mengendap-endap, menyergap, kerap membuat tergeragap; rindu. Iya, sebuah rindu dari seseorang yang merindukanmu.
Tak semudah itu ku hentikannya, biarkan hujan yang akan selalu menjawab saat kau rasa ia mampu menghadirkan aku bersamamu. Memang, selalu begitu. Rindu akan menyapa pada sesiapa yang tengah senja. Tapi, tenang saja selama dosa dosa dan munajat doa membaur, Ia Maafkan, kecuali tak adalagi nasuha. Aku bisa apa, selain mendoakan yang terbaik untukmu. Dan aku ingin katakan bahwa ( Continue).