“Kapan hamil?” Tanya seseorang sambil tiba-tiba memegang perut saya. Kejadian itu berlangsung di sebuah acara pernikahan seorang kerabat.
“Kalau tahu sih pasti saya kasih tahu. Sayangnya saya nggak tahu.. karena itu kan kehendak dan rahasia Allah,” jawab saya sambil tersenyum.
Si Mbak yang bertanya pun langsung terdiam.
Beberapa detik setelah mengucapkan kalimat itu saya langsung heran pada diri saya sendiri. Dari mana saya mendapat keberanian untuk bicara seperti itu? Saya biasanya hanya tersenyum dan berkata, “Doakan saja ya.”
***
Saya sadar, kalimat tadi bagi sebagian orang terdengar tidak terlalu ramah walaupun kalau ditelaah kata per kata, tidak ada kesalahan faktual di sana. Pertama, bahwa hidup, mati, dan rezeki itu Allah yang mengatur, termasuk rezeki untuk mempunyai anak. Kedua, saya hanya manusia yang bisa berikhtiar namun tidak bisa mencampuri kehendak Allah.
Is that clear?
Okay.
Sebelumnya saya pernah menulis tentang pertanyan serupa menanggapi dilematik seseorang dalam menunggu jodoh, dan tulisan itu menciptakan diskusi yang seru baik di fanspage Facebook. Banyak yang merasa senasib, khususnya mereka yang usianya 20 – 30 tahunan. Mungkin karena golongan usia inilah yang sedang mendapatkan banyak ‘serangan’ pertanyaan ini bertubi-tubi dan dari segala arah. Hehe.. Bukan bermaksud berlebihan, tetapi persoalan ini memang sudah cukup dramatis dan meresahkan (kami yang ditanya).
Lingkaran Istimewa
Setiap orang biasanya memiliki lingkaran orang-orang yang mereka anggap dekat. Kalau hubungan sosial dan interaksi diumpamakan sebagai lapisan-lapisan lingkaran di mana kita ada di tengahnya, maka lapisan pertama biasanya terdiri dari keluarga inti (dan keluarga lain yang dianggap dekat) dan sahabat terdekat. Kepada orang-orang yang ada di kelompok ini, kita tidak ragu untuk bercerita dan berbagi keluh kesah.
Sahabat saya, Alfina tidak sungkan bertanya kepada saya via telepone genggam
“Is, apa kabar? Udah hamil?
Hahaha.. pertanyaan gw annoying banget ya.”
Dan saya tidak merasa terganggu. Saya santai saja ditanya seperti itu. Saya senang karena merasa diperhatikan. Saya tahu dia sayang sama saya dan itu adalah suatu bentuk perhatian. *ciyeeeh ge-er*
Dan setelah pertanyaan itu percakapan kami pun mengalir.
Pada hari yang lain, Vony, saudara saya juga, mengirim pesan lewat BBM.
“Is, udah hamil ya?”
Ternyata dia menebak-nebak setelah melihat salah satu foto saya di DP BBM yang katanya sih terlihat lebih chubby. Ya Allah.. memang sih berat badan saya naik seiring dengan naiknya kurs dollar terhadap rupiah :p. Tapi saya belum hamil dan semoga hamil pada saat yang menurut Allah tepat. Insya Allah. Setelah tahu sebenarnya saya belum hamil, Hari buru-buru minta maaf. Padahal sih saya juga tidak merasa marah atau kesal sama sekali. Hehe.. Malah merasa lucu. *kemudian ngaca dan berpikir besok harus mulai rutin lari lagi* *dan besoknya saya tidak lari*
Kembali ke lapisan-lapisan tadi ya. Setelah lapisan pertama, lapisan selanjutnya bisa jadi adalah teman biasa (tidak terlalu dekat), saudara (selain keluarga inti), tetangga, teman orang tua, dan orang-orang lainnya di luar kelompok pertama. Bisa jadi, ada rasa kurang nyaman ketika ditanyai hal-hal pribadi oleh orang yang tidak masuk ke dalam lingkaran terdekat kita.
Bukankah itu hal yang wajar?
Berpikir Positif
Sering sekali dinasihati orang tua dan bahkan saya menasihati diri saya sendiri. “Udah… berpikir positif aja. Itu tandanya mereka perhatian”. Jika ada yang bertanya, “Udah hamil belum?” Saya juga selalu berusaha merespon dengan cara yang baik, yaitu dengan tersenyum sambil bilang, “Belum.. Doakan saja ya..” Apalagi kalau sedang berbicara dengan orang yang lebih tua. Tentu sopan santun harus tetap dikedepankan.
Kemudian kalau ditanya, “Udah isi?” ya jawaban defaultnya adalah menjawab sambil cengengesan, “Udah.. isi comro, isi bandros, isi misro, isi surabi..” *lah jadi bikin daftar makanan sunda yang saya kangenin*
Intinya saya (dan saya yakin semua yang pernah mendapatkan pertanyaan itu) sudah berusaha berpikir positif, bersabar, dan merespon sebaik mungkin. Yang perlu diketahui adalah bahwa pertanyaan itu bukan muncul dari satu atau dua orang saja dan bukan ditanyakan satu atau dua kali saja.
Setelah dilempar pertanyaan itu berkali-kali, apakah boleh kalau kami juga meminta pengertian dari pemirsa semuanya? Dari mbak-mas, bapak-ibu.. om-tante.. dan semua yang ada di sini. Pengertian untuk tidak perlu menanyakan hal-hal yang kami sendiri pun belum mengetahui jawabannya. Atau kalaupun memiliki situasi tertentu (misalnya ada pasangan yang sengaja menunda hamil karena alasan tertentu), merasa tidak perlu dan tidak ingin berbagi dengan kelompok orang yang bukan orang terdekat.
Empati
em·pa·ti /émpati/ n Psi keadaan mental yg membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dl keadaan perasaan atau pikiran yg sama dng orang atau kelompok lain;
ber·em·pa·ti v melakukan (mempunyai) empati: apabila seseorang mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain, berarti ia sudah mampu ~
(Sumber: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php)
Ada baiknya setiap kita merenungkan makna kata yang satu ini: empati. Indah sekali ya maknanya. Try to put ourselves in others’ shoes. Tahukah bahwa di balik jawaban “Belum.. Doakan saja ya..” dan atau “Udah.. isi comro, isi bandros, isi misro, isi surabi..” serta di balik senyum manis dan wajah cengengesan itu mungkin sudah banyak sekali sujud dan doa yang dipanjatkan dan sudah banyak ikhtiar yang dilakukan pasangan tersebut? Bahkan ada yang sampai ke dokter kandungan berkali-kali dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit dalam rangka berikhtiar untuk mendapatkan keturunan. Apakah hal tersebut perlu diumumkan ke semua orang?
Sebagian orang diberikan Allah rezeki sekaligus amanah berupa keturunan tak lama setelah mereka menikah. Sebagian lainnya diberikan ujian kesabaran dan ujian syukur atas banyak rezeki lain yang Allah berikan. Mengapa? Karena Allah sayang kepada setiap hamba-Nya dan Allah Mahatahu waktu terbaik untuk memberikan rezeki dan ujian.
Jangan Lupa Bahagia dan Bersyukur
Kalau kita sampai lupa bahagia, itu gawat. Kalau kita sampai lupa bersyukur, itu lebih parah lagi. Ya, rasa syukur sudah selayaknya ada dalam diri kita sejak pertama kita membuka mata pada pagi hari.
Seathun berjalan sudah usia pernikahan saya, kalau ditanya apakah saya bahagia, maka jawabannya adalah alhamdulillah bahagia. Alhamdulillah saya didampingi suami yang baik yang kalau ditulis satu per satu kebaikannya maka tulisan ini akan menjadi sangat panjang. Alhamdulillah saya masih hidup berkecukupan, ada tempat berteduh, bisa makan, dan punya pakaian yang layak. Alhamdulillah untuk semua karunia yang saya dapat dari Allah yang Mahapengasih dan Mahapenyayang.
“Sudah satu tahun lebih usia pernikahan tetapi belum dikaruniai anak?”
Mengapa kita harus fokus pada apa yang tidak atau belum kita miliki? Banyak sekali nikmat yang kita rasakan sampai dengan hari ini yang tidak terhitung jumlahnya. Mungkin ada satu nikmat yang belum kita rasakan, namun jangan sampai kita melupakan banyak nikmat lainnya.
Saya menulis semua ini bukan untuk menggurui. Apalah saya ini.. hanya remah-remah gula aren (tetep pengen yang enak :D). Ilmu saya masih cetek, masih banyak sekali ilmu dari universitas kehidupan ini yang tak boleh bosan untuk dipelajari. Saya menulis ini setidaknya supaya saya terus ingat bahwa saya juga harus bisa berempati kepada orang lain dalam situasi apapun.
Satu lagi, jangan sampai pertanyaan kita menyakiti atau membuat orang lain tidak nyaman dan bahkan bersedih. Mungkin maksudnya sekadar basa-basi karena tidak ada topik lain atau memang ingin memperlihatkan rasa perhatian. Sudah saatnya kita mempertimbangkan jenis pertanyaan basa-basi dan cara memperlihatkan perhatian. Jangan sampai kita mengusik apa yang belum orang lain miliki dan malah membuat orang itu tidak mensyukuri apa yang sudah dimilikinya.
Banyak orang yang berikhtiar dalam diam. Oleh karenanya, alangkah baiknya jika kita mengetahui ada orang-orang yang belum mendapatkan rezeki tertentu, kita turut mendoakan dalam diam. Bukankah itu indah? :)
Foto: http://www.telegraph.co.uk/
maisyafarhatii.wordpress.com
baby.baby.com