Daftar Isi
Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata latin lingua ‘bahasa’. Ferdinand de Saussure dalam bukunya Cours de Linguistique Generale, membedakan kata dalam bahasa Prancis: langue, langage, dan parole. Bagi Ferdinand de Saussure, langue adalah satu jenis bahasa sebagai suatu sistem. Langage sebagai bahasa sebagai sifat khas manusia. Sedangkan, parole ‘tuturan’ adalah bahasa yang digunakan secara kongkret seperti: logat, ucapan, dan perkataan (Verhaar, 2008:3).
Struktural adalah berkenaan dengan struktur, sedangkan struktur merupakan pengaturan pola dalam bahasa secara sintagmatis (hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu). Dalam hal ini dapat disimpulkan, Linguistik struktural sebagai kajian linguistik yang membahas bahasa menggunakan pendekatan pada bahasa itu sendiri.
Dalam pembidangan linguistik, dikenal istilah linguistik struktural. Berbicara tentang linguistik struktural tentunya tak bisa terlepas dari sejarah perkembangannya. Dalam kamus linguistik, Linguistik struktural adalah pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas (Harimurti, 20011:146). Jika kita cermati dari definisi ini, Linguistik struktural melakukan pendekatan dan penyelidikan bahasa fokus kepada bahasa sebagai objek.
Tata bahasa tradisional sering dipertentangkan dengan tata bahasa struktural. Hal ini terjadi karena perbedaan objek analisisnya. Linguistik tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan linguistik struktural menganalisis bahasa berdasarkan struktur struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam bahasa.
Pada zaman Yunani, Linguis mempertentangkan fisis dan nomos, analogi dan anomali. Fisis (alami) memiliki prinsip abadi dan tidak dapat diubah dan ditolak. Nomos (konvensi) diperoleh dari hasil tradisi atau kebiasaan dan mungkin bisa diubah. Analogi adalah proses atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Anomali adalah penyimpangan atau kelainan dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa. Kaum Sophis, mereka melakukan kerja empiris, mengunakan ukuran tertentu, mementingkan retorika dalam studi, dan membedakan kalimat berdasarkan isi dan makna. Tokoh kaum ini, Protogaros membagi kalimat menjadi: kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat laporan, kalimat doa, dan kalimat undangan. Plato (429-347 SM), seorang filsuf dalam studinya: memperdebatkan analogi dan anamali, membuat batasan bahasa bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantara onomata (nomina) dan rhemata (predikat). Aristoteles (384-322 SM), membagi tiga macam kelas kata: onoma, rhema, dan syndesmoy (preposisi dan konjungsi). Kaum Staik membedakan studi bahasa secara logika dan tata bahasa, menciptakan istilah khusus dalam tata bahasa, membagi tiga komponen bahasa: tanda, makna, dan hal-hal lain di luar bahasa (benda, situasi), membagi legein (bunyi fonologi yang bermakna) dan propheral (bunyi bahasa yang bermakna), membagi kelas kata: benda, kerja (komplet, tak komplet, aktif, dan pasif), syndesmoy, dan arthoron. Kaum Alexandrian, mereka menciptakan buku Dionysius Thrax yang menjadi cikal bakal tata bahasa tradisional. Sezaman dengan zaman Alexandrian, di India hidup seorang sarjana hindu yang bernama Panini, telah menyusun sekitar 4.000 pemerian tentang struktur bahasa sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai linguistik modern. Oleh karena itu, Panini dianggap sebagai one man of greatest monuments of the human intelegence oleh Leonard Bloomfield.
Pada zaman Romawi, Varro dalam bukunya De Lingua Lantina, membicarakan: pertama, etimologi (mempelajari asal usul kata beserta artinya). Contoh: perubahan bunyi duellum’perang’ menjadi belum ‘masih dalam keadaan tidak’. Kedua, morfologi (mempelajari kata dan pembentukannya). Varro membagi kelas kata dalam bahasa latin: kata benda dan kata sifat, kata kerja, partisipel, aduerbium (pendukung). Pada masa ini, ada sebuah buku yang paling lengkap Institutiones Grammaticae (tata bahasa Priscia). Buku ini menjadi tonggak pembicaraan tata bahasa tradisional. Dalam buku ini dibahas: fonologi, morfologi, dan b.
Pada zaman pertengahan (Kaum Modistae) berkembang istilah etimologi. Tata bahasa spekulativa, menurut tata bahasa ini kata tidak secara langsung mewakili alam dan benda yang ditunjuk, tetapi hanya mewakili dalam pelbagai cara modus, substansi, aksi, dan kualitas. Petrus Hispanus, dalam bukunya Summutae Logicales: memasukkan psikologi dalam bahasa, membedakan nomen menjadi substantivum dan adjectivum dan membedakan partes orations menjadi categorimatek (semua bentuk yang dapat menjadikan subjek atau predikat) dan syntategorematik (semua bentuk tutur lainnya).
Pada Zaman Renaisans, dianggap sebagai abad pembukaan pemikiran abad modern. Masa ini, berkembang bahasa Ibrani, bahasa arab, bahasa Bangsa Eropa, bahasa di luar Eropa yang menjadi lingua franca dan digunakan untuk kegiatan politik, perdagangan, dan sebagainya. Perkembangan studi linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif serta studi mengenai hakikat bahasa secara linguistik, maka dimulailah babak baru dalam sejarah linguistik.
Linguistik struktural disebut juga sebagai linguistik modern. Linguistik modern tidak terlepas dari peranan Ferdinand de Saussure yang dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Dalam bukunya Course de Linguistique Generate, memuat: Linguistik sinkronik dan diakronik, langue, langage, parole, signifiant, singnifie, hubungan sintagmatik, hubungan paradigmatik.
Linguistik struktural pun mengalami perkembangan. Berbagai aliran linguistic pun bermunculan. Aliran Praha dengan tokohnya Vilem Mathesius, Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Aliran ini membedakan fonologi (mempelajari bunyi dalam suatu sistem) dan fonetik (mempelajari bunyi itu sendiri). Aliran ini mengembangkan istilah morfonologi (meneliti perubahan fonologis yang terjadi akibat hubungan morfem dengan morfem). Aliran Glosematik, aliran ini lahir di Denmark dengan tokohnya, Louis Hjemslev menganggap bahasa mengandung segi ekspresi (signifiant) dan segi isi (signifie). Masing-masing segi mengandung formal dan substansi. Aliran Fhirtian, dengan tokohnya Joh R. Firth (London, 1890-1960). Dikenal dengan teori fonologi prosodi (menentukan arti pada tataran fonetis). Ada tiga macam pokok prosodi: menyangkut gabungan fonem, struktur kata, suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vocal; prosodi dari sandi atau jeda; prosodi yang realisasi fonetisnya lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.
Lahir pula, linguistik sistemik, kelompok ini berpandangan: memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama pada fungsi dan penerapan dalam berbahasa; memandang bahasa sebagai pelaksana, contoh: pembedaan langue (jajaran pikiran bergantung penutur bahasa) dan parole (perilaku kebahasaan sebenarnya); mengutamakan ciri bahasa tertentu dan variasinya; mengenal gradasi atau kontinum; menggambarkan tiga tataran utama bahasa: substansi, forma, dan situasi. Leonard Bloomfield dengan aliran strukturalis Amerika. Ada beberapa faktor yang menyebabkan aliran ini berkembang: mereka memerikan bahasa Indian dengan cara sinkronik; Bloomfield memerikan bahasa aliran strukturalisme berdasarkan fakta objektive sesuai dengan kenyataan yang diamati;hubungan baik antar linguis, sehingga menerbitkan majalah Language, sebagai wadah untuk melaporkan hasil karya mereka. Aliran ini sering disebut Aliran Taksonomi, karena aliran ini menganalisis dan mengklasifikasikan unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
Aliran Linguistik Tagmemik, dipelopori oleh Kenneth L. Pike. Aliran tagmemik tidak membatasi minatnya pada bahasa, tetapi harus memandang bahasa sebagai konteks yang lebih luas, yaitu mempelajari perilaku nonverbal biasa dari orang awam, dan juga dalam konteks perilaku pengamat bahasa yang khusus (linguis). Teori tagmemik merupakan teori dari pelbagai teori yang menyatakan bagaimana pengamat secara universal mempengaruhi data dan menjadi bagian dari data tersebut (Pike, 1992: 2).
Teori kebahasaan struktural mempunyai asumsi dan hipotesis tentang bahasa berdasarkan pada hasil pemakaian yang otonom tentang bahasa (tidak ada campur tangan filsafat dan logika). Asumsi dan hipotesis tentang bahasa diuji atau diverifikasi dengan data bahasa, baik yang berbentuk lisan maupun tulisan. Selain itu fakta dan data bahasa diberi kemungkinan untuk dapat dijadikan sumber penciptaan teori-teori bahasa yang bersifat universal dan spesifik. Teori-teori kebahasaan struktural berasal dari cara kerja metode keilmuan, yaitu deduktif-induktif dan induktif-deduktif.
Pada permulaan kemunculan linguistik strukturalis, metode yang paling utama digunakan adalah metode empiris induktif. Metode ini digunakan karena mampu memberikan informasi gramatika monolingual dalam penelitian lapangan. Metode ini berguna untuk mencatat bahasa-bahasa yang belum dikenal dan dapat ditata sistemnya. Metode ini, memang mendasarkan pengetahuan pada panca indera (empiris). Dengan data-data empiris itu orang dapat membuat satu generalisasi dan sistematisasi tentang bahasa.
Metode yang kedua adalah metode deduktif. Metode ini berguna untuk memeriksa competence (perangkat kaidah berbahasa) berbahasa seseorang dengan menganalisis performance (yang tertangkap panca indera). Biasanya digunakan dalam linguistik terapan (terutama pendidikan bahasa) untuk menilai competence pengguna bahasa.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi metode struktural dalam berbagai bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada wilayah filosofis.
Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam meramu teori-teori pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh karenanya, epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh nilai-nilai kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika struktur pengetahuan membangkitkan unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam struktur karya maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran filsafat, maka yang perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga, memberikan acuan fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran tersebut pada wilayah struktur karya maupun bahasa. Dalam konteks inilah, saya berupaya memaparkan strukturalisme dalam pandangan tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure.
Pada masa era strukturalis, Linguistik struktural dalam kaitannya dalam pengajaran bahasa memiliki lima asumsi umum. Asumsi pertama, bahwa prosedur kerja linguistik struktural dapat digunakan sebagai metode pengajaran bahasa. Asumsi ini mengisyaratkan kepada penekanan perlunya latihan berbicara dan menggunakan informan asli untuk menirukan dan latihan lafal. Asumsi kedua menyatakan bahwa materi pengajaran bahasa harus disajikan dalam bentuk latihan berbicara sebelum siswa diperkenalkan dengan latihan menulis. Hal ini mengisyaratkan keterampilan berbahasa berbicara dan menyimak dianggap lebih penting setelah itu baru diperkenalkan dengan membaca dan menulis.
Linguistik struktural tidak terlalu memperhatikan makna. Hal ini menimbulkan asumsi ketiga bahwa tidaklah penting bagaimana makna itu diperoleh siswa. Dalam hal ini makna dapat ditanyakan saja langsung kepada penutur asli.
Asumsi keempat menyatakan bahwa tidak perlu menyajikan gradasi dan urutan kekomplekan gramatikal pada materi yang dipelajari siswa. Asumsi ini berdasarkan analisis struktural bahwa ahli bahasa hanya memiliki kontrol sedikit terhadap kekomplekan data yang diperoleh dari informannya. Alasan mengapa kaum strukturalis kurang memperhatikan makna dalam analisisnya karena mereka berpendapat bahwa makna itu bersifat abstrak, tidak dapat diindra, dan makna ini hanya ada di dalam pikiran, dan karena itu makna dianggap pula bersifat subyektif. Kondisi ini melahirkan asumsi kelima yang menyatakan bahwa bahasa itu adalah tingkah laku dan tingkah laku dapat dipelajari dengan cara melakukan. Oleh karena itu, pembelajar mempelajari bahasa dengan melakukan respon dalam praktik-praktik kegiatan berbahasa dan penguatan bagi respon yang benar.
Dalam proses pemerolehan atau pembelajaran bahasa terdapat dua teori, yaitu: teori pembentukan kebiasaan (habit-formation theory) dari linguistik struktural dan teori belajar kode-kognitif (the cognitive-code learning theory) dari linguistic transformasi generatif.
Pemanfaatan asumsi-asumsi dan teori pemerolehan bahasa di atas, guru bahasa harus membuat beberapa catatan pertimbangan pemanfaatan: Pertama, jika pemerolehan bahasa adalah suatu pembentukan kebiasaan, guru bahasa harus menyusun program secara konkret. Kedua, jika pemerolehan bahasa adalah belajar tentang kode, guru bahasa harus menjamin bahwa siswa mampu menginternalkan kaidah-kaidah yang memungkinkan siswa mampu menghasilkan kalimat.
Sehubungan dengan kelemahan dan kekuatan kedua teori di atas, J.B. Carol mengajukan sintesa dari kedua teori belajar tersebut yang diberi nama teori pembentukan kebiasan kognitif (cognitive code learning). Menurut teori Carol ini, belajar bahasa adalah rangkaian latihan-latihan menguasai pola-pola dan sekaligus menciptakan kondisi belajar yang kondusif agar pola-pola itu terinternalisasikan dalam kesadaran siswa. Tahap berikutnya siswa didorong untuk mampu menghasilkan kalimat baru. Internalisasi dan pembentukan kalimat baru saja, tidak cukup. Tahapan berikutnya, siswa harus diterjunkan dalam situasi komunikasi nyata seperti yang terjadi pada penutur asli.
Linguistik struktural merupakan kajian linguistik yang membahas bahasa menggunakan pendekatan pada bahasa itu sendiri. Linguistik struktural sering dipertentangkan dengan linguistik tradisional. Linguistik struktural mengkaji bahasa dari ciri formal yang ada di dalam bahasa, sedangkan linguistik tradisional mengkaji tataran filsafat dan semantik.
Linguistik struktural yang juga disebut sebagai linguistik modern lahir karena ketidakpuasan pada aliran linguistik tradisional yang mengkaji bahasa bukan dari bahasa itu sendiri tetapi mengkaji menggunakan disiplin ilmu yang lain. Perkembangan linguistik dari zaman ke zaman mengalami perkembangan dan melahirkan teori-teori dan aliran-aliran linguistik.
Linguistik struktural pun diterapkan dalam pembelajaran Bahasa, dalam hal ini khususnya bahasa Indonesia. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, linguistik struktural melahirkan asumsi-asumsi dan teori-teori yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa.
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pike, Kenneth L. 1992. Konsep Linguistik: Pengantar Teori Tagmemik. Jakarta: Summer Institute of Linguistics.